Rabu, 26 Mei 2010

Electronic Road Pricing "Berkendara di jalanan ibukota tidak akan gratis lagi"

Apa itu ERP ?

Sebelum membahas lebih jauh mengenai penerapan ERP di Indonesia, mari kita sedikit mengenal apa itu Electronic Road Pricing (ERP).
Menurut wikipedia.com, ERP adalah sebuah sistem pengaturan lalu lintas kendaraan dengan cara menerapkan sistem berbayar bagi kendaraan yang akan melintasi jalan-jalan tertentu yang termasuk dalam kawasan pemberlakuannya. Dalam penerapannya, setiap kendaraan akan dipasangi sebuah alat (in-vehicle Unit) yang berisi informasi nominal deposit yang akan berkurang jumlahnya setiap kali melewati kawasan pemberlakuan ERP dimana di setiap kawasan tersebut akan ada semacam gerbang masuk dengan sensor otomatis yang berfungsi sebagai kasir elektronik yang akan mengurangi jumlah nominal deposit yang dimiliki kendaraan yang melewatinya. Jadi semacam jumlah pulsa yg akan berkurang setiap kali kita sms / menelepon).

ERP atau mungkin kalau boleh penulis Indonesiakan sebagai sistem lintas jalan berbayar sudah banyak diterapkan di negara-negara tetangga seperti di Singapura, Hongkong dan beberapa negara eropa lainnya.

Terlepas dari tujuan penerapannya , kiranya perlu sedikit di kritisi mengenai keinginan pemerintah untuk menerapkan ERP di jalanan ibukota ini. Berbagai komentar pun muncul menanggapi ide tersebut, antara lain :
Jika ditujukan untuk mengurangi kemacetan, maka Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) menilai upaya Pemprov DKI untuk mengurai kemacetan dengan menggunakan sistem retribusi (electronic road pricing/ERP) di kawasan 3 in 1 tidak akan berjalan efektif. Cara tersebut hanya akan mengalihkan kemacetan saja.
Perbandingan jalan yang tersedia dengan jumlah kendaraan yg beredar tidak sebanding, bahkan sangat timpang, belum lagi tidak adanya pembatasan produksi kendaraan pribadi. Jadi dalam hal ini keinginan pemerintah untuk mengurangi tingginya tingkat kemacetan sangat bertolak belakang dengan keinginan produsen kendaraan pribadi yang terus memproduksi dan menjual produknya, sementara permintaan dari masyarakat juga tinggi, dan ditunjang dengan daya beli yang didongkrak oleh mudahnya kepemilikan kendaraan pribadi melalui sistem kredit khususnya untuk kendaraan roda dua.

Belum lagi kemudahan mendapatkan Surat Izin Mengemudi yang mana hal ini tentunya berpengaruh terhadap tingginya jumlah kendaraan bermotor yang ada, sementara tingkat kecelakaan juga tinggi dikarenakan sarana dan prasarana jalan yang kurang baik. Jadi kalau Ibu Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Dirjen Angkutan Darat Kementerian Perhubungan menyatakan bahwa tingkat kecelakaan roda dua itu tinggi, ya karena menurut penulis faktor pendukung kecelakaannya memang banyak .

Dari segi ekonomis, perlu diingat, tidak semua pengendara motor hanya menjadikan kendaraannya sebagai sarana transportasi dari rumah ke tempat kerja dan sebaliknya, namun motor adalah sarana mereka dalam bekerja, contohnya kurir. Bisa dibayangkan jika seorang kurir yang harus bolak-balik mengantar/menjemput surat dari beberapa gedung perkantoran di seputaran kawasan pemberlakuan ERP ini harus terpotong nilai vouchernya setiap kali melintas di kawasan tersebut. Padahal uang saku yang diberikan kantor terbatas jumlahnya.

Lalu jika tujuannya adalah memberikan efek jera bagi para pengguna kendaraan pribadi agar mereka beralih ke angkutan umum dengan cara menerapkan harga tarif ERP yang cukup lumayan ( perlu rekan-rekan ketahui bahwa diusulkan untuk mobil akan dikenai tarif sebesar Rp.20.000,- dan Rp.7000,- untuk sepeda motor) , sudah selayaknya pembenahan tersebut diberlakukan terlebih dahulu kepada angkutan umum masal yang sepertinya tidak pernah selesai dan tak kunjung menunjukkan hasil konkrit atas janji-janji yang sering digembar-gemborkan dari awal pembuatannya. Masyarakat sudah pasti tidak akan mau dipaksa untuk beralih dari kenyamanan kendaraan pribadinya jika harus berjibaku didalam angkutan umum yang bisa dibilang tidak layak sebagai sarana transportasi massal yang aman dan nyaman.
"Tanpa adanya perbaikan yang memadai angkutan massal terlebih dahulu, sistem retribusi atau ERP tidak akan mungkin efektif juga diterapkan," ujar Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Azas Tigor Nainggolan pada detikcom, Minggu (9/5/2010).

Oleh karena itu, menurut penulis, sudah selayaknya usulan penerapan ERP ini harus dikaji dengan baik dan seksama. Jangan sampai timbul penerapan aturan yang tumpang tindih, sementara tujuan inti dari penerapan ERP ini tidak tercapai.
Masyarakat lebih memilih kendaraan pribadi karena memang lebih cepat, simple, dan praktis, walau toh pada akhirnya terjebak macet juga, tapi setidaknya mereka punya pilihan.

Jalanan ibukota yang aman, lancar dan bebas macet adalah idaman semua warganya. Saya rasa tidak ada warga atau pun rekan biker yang akan rela bermacet-macet ria dibawah panas matahari / hujan deras bila ada sarana transportasi umum yang lebih baik, aman, nyaman, tepat waktu dan manusiawi serta terjangkau, baik dalam segi daya beli dan daya jangkau dengan penggunanya tentunya ( hal ini mengingatkan kembali pada sistem feeder bus way yang tak juga jelas hingga kini). Perlu persiapan yang matang untuk mencapainya. Semoga ada solusi untuk mengatasi benang kusut kemacetan dan transportasi umum di Indonesia.

Tambahan :

Kawasan 3 in 1 yang akan diganti dengan ERP meliputi:
1. Jalan Sisimangaraja, jalur cepat dan jalur lambat.
2. Jalan Jenderal Sudirman, jalur cepat dan jalur lambat
3. Jalan MH Thamrin, jalur cepat dan jalur lambat
4. Jalan Medan Merdeka Barat
5. Jalan Majapahit
6. Jalan Gajah Mada
7. Jalan Pintu Besar Selatan
8. Jalan Pintu Besar Utara
9. Jalan Hayam Wuruk
10. Sebagian Jalan Jenderal Gatot Subroto antara persimpangan Jalan Gatot
Subroto-Jalan Gerbang Pemuda (Balai Sidang Senayan) sampai dengan persimpangan Jalan HR Rasuna Said-Jalan Jenderal Gatot Subroto pada jalan umum bukan tol.

-=SaS=-

Sumber : Detik.com , Wikipedia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar